Pemenang Nobel Fisika Takut Pada AI, Alasannya Bikin Merinding
Jakarta –
Royal Swedish Academy of Sciences mulai mengumumkan daftar pemenang penghargaan Nobel Prize untuk tahun 2024. Duo pionir AI, Geoff Hinton dan John Hopfield, sama-sama dinobatkan sebagai peraih Nobel Prize di bidang Fisika.
Dalam pengumumannya, Royal Swedish Academy of Sciences mengatakan penemuan Hinton dan Hopfield menjadi dasar bagi banyak terobosan kecerdasan buatan (AI) saat ini. Keduanya sudah terlibat dalam pengembangan teknologi jaringan neural buatan sejak akhir tahun 1970-an.
“Saya tidak punya ekspektasi apapun terhadap hal ini. Saya sangat terkejut dan merasa terhormat bisa masuk dalam daftar ini,” kata Hinton dalam pernyataan resmi yang dirilis University of Toronto, seperti dikutip detikINET dari The Verge, Selasa (15/10/2024).
Hinton merupakan salah satu peneliti ternama di bidang AI, bahkan ia sering disebut sebagai ‘bapak deep learning’. Setelah mendapatkan gelar PhD di bidang AI pada tahun 1978, Hinton menciptakan algoritma ‘backpropagation’, metode yang memungkinkan jaringan neural untuk belajar dari kesalahannya dan mengubah cara melatih model AI.
Pada tahun 2013, Hinton bergabung dengan Google setelah raksasa teknologi itu mengakusisi perusahaannya DNNresearch. Pria berusia 76 tahun itu mengundurkan diri dari Google tahun lalu dan saat ini bekerja sebagai profesor di University of Toronto.
Kecemasan terhadap AI
Hinton beberapa kali mengungkapkan rasa cemasnya terhadap perkembangan AI. Kemampuan AI yang paling membuatnya cemas dan berpotensi paling membahayakan adalah bahwa mereka bukan makhluk biologis dan akan lebih cerdas dari manusia.
“Saat ini, mereka tidak lebih pintar dari kita. Tapi saya pikir, mungkin segera (mereka lebih pintar),” cetus pria asal Inggris ini beberapa waktu yang lalu.
“Saya menyimpulkan bahwa jenis inteligensi ini sangat berbeda dengan yang kita miliki. Kita adalah sistem biologis dan mereka adalah sistem digital. Perbedaan besarnya adalah dengan sistem digital, ada banyak salinan dengan model yang sama,” papar pria berusia 75 tahun ini.
“Semua salinan itu bisa belajar terpisah namun membagikan pengetahuan mereka secara instan. Ini seperti ada 10 ribu orang dan kapan pun seseorang belajar sesuatu, setiap orang secara otomatis tahu. Itu kenapa chatbot bisa tahu jauh lebih banyak dari satu orang,” imbuhnya yang dikutip detikINET dari BBC.
Maka, AI dianggapnya bisa berbahaya jika kecanggihannya dimanfaatkan oleh orang jahat untuk mewujudkan ambisinya. Namun demikian, ia menilai dalam jangka pendek, AI akan membawa lebih banyak manfaat daripada risiko.
“Jadi saya tidak berpikir bahwa kita harus berhenti mengembangkan benda ini. Bahkan jika setiap orang di Amerika berhenti mengembangkannya, China akan jauh memimpin,” katanya. Ia berharap pemerintah memastikan bahwa AI dikembangkan dengan antisipasi jika teknologi ini membahayakan.
(fyk/afr)
Source link